Selasa, 17 Maret 2015

perlunya hukuman mati untuk gembong narkoba

Perlunya Hukuman Mati Untuk Gembong Narkoba? Posted by: redaksi waktoe in HUKUM KRIMINAL, INSPIRASI, NEWS, YOGYAKARTA 14 March 2015 0 70 Views Waktoe.com-YOGYAKARTA, Hukuman mati terhadap pengedar ataupun gembong narkoba, sedang menjadi perbincangan publik belakangan ini. Tidak hanya itu, bahkan eksekusi hukuman mati tersebut berimplikasi secara negatif terhadap hubungan Indonesia dengan sejumlah negara, dimana ada warga negaranya menjadi terpidana mati seperti Australia, Brazil, dan Belanda. Seperti Belanda yang sempat menarik Duta Besarnya dari Indonesia, dan Brazil yang menolak keberadaan Duta Besar Indonesia, serta Australia yang tidak kalah dengan melakukan lobi politik dan diplomasi kepada Pemerintahan Jokowi, hingga barter tahanan. Sangat ‘edan’ kalau dilihat dari perkaranya, terlebih saat ini Indonesia dalam kondisi darurat narkoba, karena menurut data Badan Narkotika Nasional, jumlah orang yang meninggal dunia akibat penyalahgunaan narkoba mencapai 200 juta jiwa per tahun. Untuk itu Lembaga Kajian Resolusi Konflik mengadakan Kajian Hukuman Mati bagi Pengedar Narkoba Wujud Konsistensi Dalam Pemberantasan Narkoba, Sabtu (14/03) di Gedung Perwakilan Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DIY. “Kajian ilmiyah ini kami mengundang para ahli agama dan orang yang berkompeten. Harapannya acara ini dapat menggalang pemikiran bersama tentang resolusi konflik, dan kita mendukung atas hukuman mati terhadap pengedar narkoba,” ujar Ketua Lembaga Kajian Resolusi Konflik Muqoffa Mahyuddin, disela-sela acara. Muqoffa juga menambahkan, umat Islam pasti memaafkan atas kesalahan pengedar narkoba, namun hukum harus tetap berjalan. Dia juga menyatakan bahwa Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sangat mendukung terhadap hukuman mati terhadap pengedar narkoba. Sementara Dosen Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Ahmad Radhi, yang menjadi pembicara dalam acara tersebut mengatakan bahwa sudah dijelaskan di dalam Al Quran boleh membunuh dengan alasan yang jelas, terlebih kepada pengedar narkoba yang dapat merusak Bangsa. “Hukuman mati bisa ditiadakan kalau bersifat pribadi, tidak melibatkan orang banyak. Tapi kalau narkoba bisa membuat dampak yang negatif untuk orang banyak,” jelasnya. Dia juga menegaskan bahwa narkoba telah merugikan negara, maka wajib hukuman matu kepada pengedar narkoba. “Menghabiskan biaya negara terbesar, untuk rehabilitasi narkoba menghabiskan Rp.6 Truliyun,” tandasnya. Sedangkan Dosen Luar Biasa Mata Kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Ahmad Asroni yang memandang hukuman mati tersebut sebagai sekelumit telaah filosofis etis mengatakan, praktik hukuman mati banyak menuai pro dan kontra. “Sebelum mendiskusikan hukuman matu bagi gembong narkoba, alangkah baiknya kita mengulas persoalan narkoba di Indonesia untuk mengetahui secara komprehensif peredaran dan bahaya laten narkoba di Indonesia,” katanya. Dia juga menambahkan, bahwa bisnis narkoba saat ini merupakan salah satu bisnis yang ‘menjanjikan’. “Mereka yang kontra akan mengatakan hukuman mati melanggar HAM, sedangkan yang pro menilai hukuman mati wajib dilakukan karena pengaruh narkoba sungguh berbahaya. Belum lagi peredaran narkoba di dalam LP, itu karena ada permainan didalam dengan bayaran yang sangat besar, hingga dia mau mempertaruhkan jabatannya,” tambahnya. Asroni menjelaskan BNN menyebutkan bahwa dari 100 persen transaksi narkoba di wilayah ASEAN, 40 persen berada di Indonesia, dari total transaksi sebesar Rp 110 Triliyun, Indonesia meraup Rp.48 Triliyun, serta Indonesia menjadi urutan teratas dalam peredaran narkoba. CH DEWI RATIH KPS | waktoe ch.dewiratih@gmail.com

Kamis, 12 Februari 2015

Assalamualaikum tweeps... Baiklah, mari kita mulai serial #NgajiHikam ini ya... Semoga manfaat n berkah. Bismillahirrahmanirrahim... 2) #NgajiHikam BAB-1: “Di antara tanda kebergantungan pada amal, adalah menyusutnya harapan ketika terjadi kesalahluputan” 3) Syekh al-Buthi mengawali bab ini dgn pertanyaan: Adakah bergantung pada amal dianggap terpuji atau tercela? #NgajiHikam 4) Jawabannya: tercela. Itulah sebabnya kita dilarang bergantung pada amal baik apapun yg telah kita lakukan. #NgajiHikam 5) Jadi dlm upaya meraih ridha Allah n balasan yg dijanjikan-Nya, jgn sampai Anda bergantung pd amal yg Anda lakukan. #NgajiHikam 6) Sebaik n sebanyak apapun amal Anda, salat, puasa, haji, sedekah, dll, jgn sampai Anda bergantung pd semua itu. #NgajiHikam 7) Tapi bergantunglah pada lembutnya pengaturan Allah, anugerah dan kemurahan-Nya. #NgajiHikam 8) Adakah dalil landasan bagi pernyataan ini? Ya, ada. Yaitu hadis riwayat Imam al-Bukhari, sbb: #NgajiHikam 9) >> “Tak seorangpun yg amalnya memasukkan ia ke dlm surga.” Sahabat bertanya: “Tdk juga Anda, ya Rasul?” #NgajiHikam 10) >> Nabi menjawab: “Tidak juga aku. Namun Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku”. (HR. Al-Bukhari) #NgajiHikam 11) So, amal bkn nilai yg hrs dibayar utk bisa masuk surga. Krn kita beramal, maka otomatis kita berhak msk surga. Tidak. #NgajiHikam 12) Jika amal Nabi tak jamin beliau msk surga, apalagi amal kita? (Nabi pasti msk surga krn rahmat Allah, bkn krn amal beliau) #NgajiHikam 13) Lalu apa n bgmn sikap kita dlm kaitannya dgn amal2 yg kita lakukan? Apa diam saja atau bagaimana? #NgajiHikam 14) Sikap kita adalah melakukan amal2 itu dgn ikhlas karena Allah, sekaligus berharap balasan tersebab kemurahan n anugerah-Nya. #NgajiHikam 15) Kita mesti yakin jika balasan itu bukan sbg upah atas amal yg tlh kita tunaikan, tapi semata kemurahan n anugerah-Nya #NgajiHikam 16) Lalu, akibat buruk apa yg akan terjadi jika kita menaruh harapan akan dpt balasan dari amal yg kita lakukan? #NgajiHikam 17) Ibnu Atha’illah mengatakan: akibatnya adalah, Anda akan kehilangan harapan ketika tergelincir pd kesalah-luputan. #NgajiHikam 18) Artinya jika Anda beramal dan menaruh harapan besar jika amal Anda bisa masukkan Anda ke surga, #NgajiHikam 19) >> Maka harapan itu akan sirna jika suatu ketika Anda tegelincir pd salah dan dosa. #NgajiHikam 20) Beda halnya jika Anda beramal krn Allah, sekaligus berharap pada Allah. Tdk berharap pada amal. #NgajiHikam 21) >> Anda akan terus beramal dan berharap pd Allah, sekalipun suatu waktu Anda tergelincir pd salah dosa. #NgajiHikam 22) Itu bedanya antara org yg beramal & bergantung pada amalnya, dgn ong yg beramal & bergantung pd Allah. #NgajiHikam 23) Demikianlah. Hikmah pertama ini telah mengajari kita akan syariat dan hakikat sekaligus. #NgajiHikam

Selasa, 10 Februari 2015

MAQOLAH 18 Barangsiapa yang meninggalkan perbuatan dosa, maka akan lembutlah hatinya, maka hati tersebut akan senang menerima nasehat dan ia khusyu’/memperhatikan akan nasehat tersebut. Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu yang haram, baik dalam hal makanan, pakaian dan yang lainnya, dan ia memakan sesuatu yang halal, maka akan jernihlah pikirannya di dalam bertafakur tentang semua ciptaan Allah yang menjadi petunjuk akan adanya Allah Ta’ala yang menghidupkan segala sesuatu setelah kematiannya, demikian pula menjadi petunjuk akan keesaan Allah dan kekuasaan-Nya, dan ilmu-Nya. Dan yang demikian ini terjadi apabila ia mempergunakan pikirannya dan melatih akalnya, bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang menciptakan dia dari nuthfah di dalam rahim, kemudian menjadi segumpal darah, kemudian menjadi segumpal daging, kemudian Allah menjadikan tulang dan daging dan urat syaraf serta menciptakan anggota badan baginya. Kemudian Alah memberinya pendengaran, penglihatan dan semua anggota badan, kemudian Allah memudahkannya keluar sebagai janin dari dalam rahim ibunya, dan memberinya ilham untuk menyusu ibunya, dan Allah menjadikannya pada awal kejadian dengan tanpa gigi gerigi, kemudian Allah menumbuhkan gigi tersebut untuknya, kemudian Allah menanggalkan gigi tersebut pada usia 7 tahun, kemudian Allah menumbuhkan kembali gigi tersebut. Kemudian Allah menjadikan keadaan hambanya selalu berubah, dari kecil kemudian tumbuh menjadi besar dan dari muda berubah menjadi tua renta dan dari keadaan sehat berubah menjadi sakit. Kemudian Allah menjadikan bagi hamba-Nya pada setiap hari mengalami tidur dan jaga, demikian pula rambutnya dan kuku-kukunya, manakala ia tanggal maka akan tumbuh lagi seperti semula. Demikian pula malam dan siang yang selalu bergantian, apabila hilang yang satu maka akan disusul dengan timbulnya yang lain. Demikian pula dengan adanya matahari, rembulan, bintang-bintang dan awan dan hujan yang semuanya datang dan pergi. Demikian pula bertafakur tentang rembulan yang berkurang pada setiap malamnya, kemudian menjadi purnama, kemudian berkurang kembali. Seperti itu pula pada gerhana matahari dan rembulan, ketika hilang cahayanya kemudian cahaya itu kembali lagi. Kemudian berpikir tentang bumi yang gersang lagi tandus, maka Allah menumbuhkannya dengan berbagai macam tanaman, kemudian Allah menghilangkan lagi tanaman tersebut kemudian menumbuhkannya kembali. Maka kita akan dapat berkesimpulan bahwa Allah Dzat yang mampu berbuat yang sedemikian ini tentu mampu untuk menghidupkan sesuatu yang telah mati. Maka wajib bagi hamba untuk selalu bertafakur pada hal yang demikian, sehingga menjadi kuatlah imannya akan hari kebangkitan setelah kematian, dan pula ia mengetahui bahwa Allah pasti membangkitkannya dan membalas segala amal perbuatannya. Maka dengan seberapa imannya dari hal yang demikian yang membuat kita bersungguh-sungguh melaksanakan ta’at atau menjauhi maksiat. Wallahu a'lam bishshowab. (Kitab Nashoihul Ibad: Syekh Nawawi Al-Bantani)-Maqolah 18
Antara Suami dan Orang Tua Bagi seorang wanita yang belum menikah maka orang tua lebih berhak untuk ditaati. Namun ketika ia telah menikah maka taat kepada suami merupakan kewajiban yang lebih diutamakan melebihi orang tuanya. Ketaatan yang dimaksud di sini tentu saja bukan hal yang berhubungan dengan perkara maksiat. Sebagaimana sabda Nabi: لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق “Tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al Khaliq (Maha Pencipta). (HR. Bukhori no. 6830, Muslim no. 1840 dan An-Nasa'i no. 4205). Apabila ketaatan kepada suami berseberangan dengan ketaatan kepada orang tua, maka bagi seorang wanita (istri) muslimah wajib mendahulukan ketaatan kepada suaminya. Imam Ahmad berkata tentang wanita yang memiliki suami dan seorang ibu yang sedang sakit: “Ketaatan kepada suaminya lebih wajib atas dirinya daripada mengurusi ibunya, kecuali jika suaminya mengizinkannya”. Seorang wanita tidak boleh mentaati kedua orang tuanya untuk berpisah dengan suaminya, tidak pula mengunjunginya dan semisalnya. Bahkan ketaatan kepada suaminya lebih wajib. Kewajiban seorang istri untuk mentaati suaminya sangat tegas dinyatakan dalam agama Islam. Hal ini tertuang dalam sabda Rosulullah shollallahu 'alaihi wa sallam: عن أبي هريرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لو كنت آمرا أحدا أن يسجد لأحد لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها Dari Abu Hurairah, dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: “Andai boleh kuperintahkan seseorang untuk bersujud kepada yang lain tentu kuperintahkan seorang istri untuk bersujud kepada suaminya”. (HR. Tirmidzi no. 1159). Berdasarkan hadits riwayat Imam Ahmad dan Imam An-Nasa'i serta dishohihkan oleh Imam Hakim. سألت النبي صلى الله عليه وسلم أي الناس أعظم حقا على المرأة قال زوجها قلت فعلى الرجل قال أمه Dari Aisyah rodhiyallahu 'anha: "Saya pernah bertanya kepada Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam, siapakah yang paling besar haknya terhadap seorang wanita?" Beliau menjawab: "Suaminya". Aku bertanya lagi: "dan terhadap lelaki?" Beliau menjawab: "ibunya". Jadi kesimpulannya adalah jika seorang wanita telah menikah maka kepatuhan terhadap suami lebih utama ketimbang orang tua. Dan bagi seorang lelaki meski ia sudah menikah maka kepatuhan terhadap orang tua tetap lebih utama tanpa mengesampingkan urusan rumah tangganya. Wallahu a'lam. Referensi: 1. Syarh Muntaha al Iradat juz 3 hal. 47 و) للزوج (منع كل منهن) أي: من زوجاته (من الخروج) من منزله إلى ما لها منه بد ولو لزيارة والديها أو عيادتهما، أو شهود جنازة أحدهما قال أحمد في امرأة لها زوج وأم مريضة: طاعة زوجها أوجب عليها من أمها إلا أن يأذن لها (ويحرم) خروج زوجة (بلا إذن أو) بلا (ضرورة) كإتيان بنحو مأكل لعدم من يأتيها به لحديث أنس: " «أن رجلا سافر، ومنع زوجته الخروج فمرض أبوها فاستأذنت رسول الله صلى الله عليه وسلم في حضور جنازته فقال لها: اتقي الله ولا تخالفي زوجك. فأوحى الله إلى النبي صلى الله عليه وسلم إني قد غفرت له بطاعتها زوجها» " رواه ابن بطة في أحكام النساء، وحيث خرجت بلا إذنه بلا ضرورة (فلا نفقة) لها ما دامت خارجة عن منزله إن لم تكن حاملا لنشوزها (، وسن إذنه) أي: الزوج لزوجته في خروج (إذا مرض محرم لها) لتعوده (أو مات) محرمها لتشهده لما فيه من صلة الرحم وعدم إذنه يحمل الزوجة على مخالفته وقد أمره الله تعالى بالمعاشرة بالمعروف وليس هذا منها 1. Al Inshaf juz 8 hal. 362 لا يلزمها طاعة أبويها في فراق زوجها، ولا زيارة ونحوها. بل طاعة زوجها أحق 3. Tuhfah al Ahwadziy juz 4 hal. 271 لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ المَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا .............................................................................. قوله (لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها) أي لكثرة حقوقه عليها وعجزها عن القيام بشكرها وفي هذا غاية المبالغة لوجوب إطاعة المرأة في حق زوجها فإن السجدة لا تحل لغير الله 4. Fathul Bari li Ibnu Hajar juz 10 hal. 401 وأشار بن بطال إلى أن الترتيب حيث لا يمكن إيصال البر دفعة واحدة وهو واضح وجاء ما يدل على تقديم الأم في البر مطلقا وهو ما أخرجه أحمد والنسائي وصححه الحاكم من حديث عائشة سألت النبي صلى الله عليه وسلم أي الناس أعظم حقا على المرأة قال زوجها قلت فعلى الرجل قال أمه ويؤيد تقديم الأم حديث عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن امرأة قالت يا رسول الله إن ابني هذا كان بطني له وعاء وثديي له سقاء وحجري له حواء وإن أباه طلقني وأراد أن ينزعه مني فقال أنت أحق به ما لم تنكحي كذا أخرجه الحاكم وأبو داود 5. Al Mausu’ah al Fiqhiyyah juz 19 hal. 109-110 وللزوج منع زوجته من الخروج من منزله إلى ما لها منه بد، سواء أرادت زيارة والديها أو عيادتهما أو حضور جنازة أحدهما. قال أحمد في امرأة لها زوج وأم مريضة: طاعة زوجها أوجب عليها من أمها إلا أن يأذن لها، وقد روى ابن بطة في أحكام النساء عن أنس أن رجلا سافر ومنع زوجته من الخروج فمرض أبوها، فاستأذنت رسول الله صلى الله عليه وسلم في عيادة أبيها فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم اتقي الله ولا تخالفي زوجك فأوحى الله إلى النبي صلى الله عليه وسلم: إني قد غفرت لها بطاعة زوجها ولأن طاعة الزوج واجبة، والعيادة غير واجبة فلا يجوز ترك الواجب لما ليس بواجب. ولا ينبغي للزوج منع زوجته من عيادة والديها، وزيارتهما لأن في منعها من ذلك قطيعة لهما، وحملا لزوجته على مخالفته، وقد أمر الله تعالى بالمعاشرة بالمعروف، وليس هذا من المعاشرة بالمعروف