Minggu, 04 Juli 2010

Pendekatan Sufistik

Pendekatan Sufistik
 
Sebuah kitab berjudul “Al-Munqidz minadh-Dhalal” karya Hujjatul Islam Al-Ghazali, Ulama besar abad VI hijriyah, telah mengilhami banyak kesadaran spiritual umat Islam, bahkan masyarakat dunia ketika itu. Makna dari judul itu adalah “Penyelamat dari kegelapan”.
Sebuah wacana yang mengingatkan kita semua, bahwa siklus moralitas manusia, akan menuju titik jenuhnya, dan secara dramatis telah  memasuki abad-abad kegelapan yang mengerikan.
Dalam konteks kebangsaan kita dewasa ini,  bentangan sejarah masa lalu merupakan mosaik yang memantulkan tiga wajah sejarah yang saling memperebutkan hegemoni, tanpa disadari hegemoni-hegemoni itu seringkali membiaskan  gambaran, betapa drama para pemimpin negeri, konstelasi ideologi dan kepentingan pragmatis menjadi warna yang saling bergulungan satu sama lainnya.  Lalu hari ini, tiba-tiba kita sudah berada di hamparan pulau asing, tanpa horison perspektif  dan kaki langit yang jelas. Hari ini adalah kenyataan-kenyataan dari pantulan mosaik yang buram dari masa lalu yang kelam.
Kitab Al-Ghazali itu, tentu saja masih relevan untuk menimbang moralitas kebangsaan kita hari ini, untuk sebuah solusi besar yang mondial. Karena sesungguhnya, masalah-masalah kontemporer dari soal KKN, delegitimasi politik, dan konspirasi masih terus berlangsung.
Di satu sisi, ada lapisan generasi muda yang hendak bangkit mewarnai negeri ini harus tumbuh dengan situasi konflik horisontal dan ideologis, tanpa lahir dari  kandungan “kasih sayang” kebudayaan politik generasi tua, sedangkan di lain pihak, desakan-desakan internasional yang sulit dibendung ketika globalisasi terus menggulung belahan bangsa yang belum sama sekali siap menyongsong suatu abad, dimana hegemoni masyarakat industri semakin liar menancapkan “penjajahan baru”.Tidak hanya generasi muda, tetapi juga generasi tua, tidak bisa bicara banyak, dalam menghadapi tantangan-tantangan internasional seperti itu, mengingat moralitas kebangsaan kita masih berada di dalam proses penyembuhan dari penyakit jiwanya.
Makanya, opini publik mengalami kontaminasi luar biasa, bahkan sampai pada tingkat paling maniak, publik harus memendam kekecewaan yang mendalam, karena lipatan-lipatan peristiwa yang terorganisir, dalam fluktuasi yang bergelombang, tanpa bisa diduga kemana arah angin yang menuntun kapal bersar bangsa ini tertuju. Situasinya sedemikian keruh, saling tumpang tindih peran, karena masing-masing kelompok sesungguhnya berada dalam jurang ketakutan, dengan saling membangun alibi yang sangat instan.

Drama Kemelut

Drama kebangsaan itulah yang menyebabkan hilangnya prioritas kerja besar yang mesti diagendakan, berbalik tanpa skenario ke depan yang menjanjikan, keculai perubahan skenario yang serba mendadak, dan membuat berbagai kebijakan terasa gagap. Padahal ada kata bijak yang sering diungkap oleh para Ulama, “Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘ala Jalbil Mashalih”, yang berarti meninggalkan atau membersihkan mafsadah bangsa ini harus diprioritaskan ketimbang reformasi.  Kaidah arif ini sama seperti tergilas oleh usaha reformasi, yang muncul bukan karena sebuah TIB yang merespon masa depan, tetapi lebih sebagai eskapisme  dan kekecewaan atas penidasan  struktural maupun kultural di masa Orba.
Hari ini kita menghadapi tiga masalah besar yang mesti diselesaikan tanpa harus mempertimbangkan lagi toleransi-toleransi politis:
Masalah pertama, adalah robeknya spirit merah putih dalam compang camping sejarah hari ini. Merah putih yang menjadi simbol nasionalisme harus banyak ditarik oleh tangan-tangan ambisi yang sangat kotor: Kalau bukan tangan yang menginginkan merebut merah putih agar tergenggam erat di tangannya, sebagai legitimasi atas kekuasaan yang diraihnya, maka merah putih malah dirobek untuk ditambal dengan warna-warni lainnya atas nama aspirasi publik di negeri yang terbuka peluang-peluang demokrasi dan HAM-nya.
Sementara watak demokrasi TIB sendiri belum mendaratkan dirinya pada landasan kebangsaan yang kokoh, dalam wujudnya yang eksistensial sebagai  demokrasi khas Indonesia, sehingga simbol-simbol ideologis di luar merah putih sangat antusias untuk turut mewarnai bendera nasional kita. Lebih sederhana, sesungguhnya ada masalah ideologis saling tarik menarik antar kekuatan politik di negeri ini, ditambah dengan kekuatan politik non ideologis yang opportunis.
Masalah kedua,  berkait dengan etika dan etos penyelenggaraan negara.  Sampai pada kesimpulan, bangsa kita telah “mati rasa” dengan ungkapan soal etika, mulai dari anak-anak remaja sampai kaum elit di Jakarta.  Kita harus jujur dan terbuka, bahwa “akhlak bangsa” kita telah tersungkur dalam degradasi watak-watak kebangsaan dari bangsa-bangsa di dunia, dalam berbagai sektor kehidupan. Kalau boleh diungkapkan dengan satu kata saja, kita hanya bisa berucap, “Astaghfirullahal  ‘Adzim”, sebagai ungkapan satu-satunya bagi ketidakberdayaan moral kita.
Sebab apa yang disebut sebagai perselingkuhan moral terjadi dimana-mana, di ketiak-ketiak birokrasi,  dibalik kata-kata “perjuangan” di Senayan, bahkan yang paling mengerikan ketika moral dijualbelikan di balik api konflik SARA, lalu dimanage untuk hegemoni kepentingan, tanpa sedikit pun para pelakunya merasa bersalah, karena lembaga peradilan moral kita tak pernah bergeming kecuali hanya terbatas pada  teriakan-teriakan protes atas pelanggaran HAM dan formalisme-formalisme hukum yang bisa dimainkan oleh para pemegang opsi hukum di lembaga peradilan.
Drama moral  kebangsaan ini, kemudian bisa kita lihat dari tiga aspek yang nyata: moral individu, moral publik dan moral aparat negara, yang masing-masing diperlemah oleh sanksi-sanksi moral dalam ketidakpastian hukum. Lalu pertanyaan yang belum bisa terjawab, karakteristik bangsa seperti apakah yang menjadi predikat kita hari ini? Lalu kapankah kita bisa disebut sebagai sosok bangsa yang bangkit dari reruntuhan moral ini?
Masalah ketiga,  mengadapi globalisasi, khususnya paska tragedi Sebelas September lalu hingga bom Bali, sampai krisis Irak, bahkan krisis global baru-baru ini, yang dicemaskan berdampak ke negeri kita, lalu muncul Drama Century yang dahsyat.
Menghadapi globalisasi berarti duduk bersama dalam Tata Dunia Baru, yang sejak awal Indonesia telah dipandang sebagai bangsa dan negara yang tidak begitu penting, sehingga tidak pernah terdengar sedikit pun perjuangan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan tentang arah Tata Dunia Baru tersebut. Kalau harus memilih untuk pengambilan keputusan sejarah, bangsa Indonesia lebih memilih menjadi bangsa yang “terhibur” oleh globalisasi, ketimbang sebagai bangsa yang dihargai sama, dengan bangsa-bangsa lain.
Sebagai bangsa yang terhibur, mereka tiba-tiba telah jatuh tersungkur dalam kubangan ekonomi dan mata uang dengan waktu yang singkat dan cepat.  Faktanya, bangsa kita tidak pernah serius dalam soal hubungan internasional, lalu sekali lagi hanya bisa menghibur diri dengan ungakapn-ungkapan yang membius, sebagai  “bangsa besar.”  Bahkan apa sesungguhnya globalisasi itu, kemana arahnya, bangsa kita tidak pernah peduli, karena memang tidak tahu, skenario yang sesungguhnya.

KACAMATA SUFISTIK

Keluar dari tiga masalah besar tersebut, kita  perlu urai masing-masing pendekatan melalui kacamata Sufistik, sebuah pendekatan dimensi moral; terdalam dari pengalaman teosofis kita, agar ada kejernihan nurani dalam memandang dimensi ke-Indonesiaan dari sisi hakiki yang selama ini terabaikan, namun sesungguhnya sangat fundamental.
Untuk solusi benturan psikhologis dibalik tarik-menarik ideologi kebangsaan, dunia Sufi memandang dari proses pergumulan ini dengan dua kaidah Sufi yang tertera dalam kitab Al-Hikam karya Ibnu Athaillah as-Sakandari, Ulama Sufi besar satu abad paska Al-Ghazali, yang cukup relevan.
Kaidah Alhikam pertama, berbunyi, “Tanda-tanda sebuah bangsa terlalu mengandalkan nama besarnya, egoismenya, amaliahnya, adalah hilangnya optimisme masa depan di depan Allah ketika bangsa itu berbuat kesalahan.”
Kaidah Alhikam kedua,  jika ditafsirkan lebih  “berkebangsaan” bisa berbunyi, “Kehendak bangsa yang ingin memasuki dunia serba Ilahi, sementara Tuhan masih memposisikan bangsa itu di wilayah atau alam logika sebab akibat historis, sesungguhnya bangsa itu sedang terseret oleh emosi-emosinya yang masih tersembunyi didalam jiwa bangsa itu.  Dan sebaliknya suatu bangsa yang telah diposisikan Allah untuk memandang perspektifnya dari serba Ilahi, tiba-tiba mereka memaksakan dirinya untuk terlibat dalam alam logika sebab akibat, sesungguhnya bangsa itu sedang berada dalam degradasi derajat kebangsaannya.”
Hikmah Sufi itu, menggambarkan tentang etika penyelenggaraan kekuasaan dan politik di negeri kita, agar kembali pada proporsi pandangan hidup berbangsa yang benar:
Manakah yang dijadikan dasar perjuangan ideologis, religius, hubungan-hubungan strategis dan kultur yang hendak dibangun, mengingat masing-masing saat ini berada dalam tumpang tindih yang satu sama lain saling mengintervensi. Tidak jelas dalam praktek kehidupan berbangsa, mana yang masuk sebagai wilayah Ketuhanan, wilayah kemanusiaan, wilayah interaksi  kebangsaan yang plural, dan mana wilayah serta tarik menarik budaya dan ideologinya.
Dunia Sufi memandang persoalan lebih bersifat deduktif, dari wilayah kedalam hakikat kultural, kemudian diwujudkan dalam kerangka besar kebangsaan, mengingat sejarah kebangsaan kita sesungguhnya mendahului sejarah kenegaraan kita. Sehingga formalisme negara, tidak akan kokoh manakala tidak mendasarkan pada kultur kebangsaannya.
Nasionalisme modern yang  dijadikan wacana Tata Indonesia Baru (TIB) tidak bisa melepaskan diri dari tiga masalah besar sebelumnya: Watak ideologis; Etika penyelenggaraan negara dan Tata Dunia Baru dalam pergumulan globalisasi. Ketiganya muncul dalam kerucut demokrasi yang harus dipraktekkan dalam watak kebudayaan kita, dengan etika-etika dan kepastian hukum yang berlaku.  Jangan sampai kita terjebak oleh arus besar globalisasi tanpa menyertakan perimbangan dari berbagai dimensi kebangsaan kita secara lebih demokratik, mengingat kesepakatan tentang demokrasi yang hendak kita bangun masih dalam perdebatan konstelatif yang panjang.
Misalnya, bagaimana wujud demokrasi dalam praktek birokrasi pemerintahan kita, bagaimana pula model yang akan muncul dalam praktek peradilan kita, bahkan dalam hubungan antar partai dan lembaga-lembaga tinggi negara serta hubungan internasional. Pertanyaan berikut masih harus diselesaikan menyangkut keadilan ekonomi, prinsip-prinsip Hankam yang demokratik, dan hubungan antara daerah dengan pusat dalam kerangka Otonomi Daerah.

TIGA PENDEKATAN

Proses-proses horisontal kebangsaan itu, menurut dunia Sufi diposisikan menjadi tiga konstelasi besar.
 
Pertama,  konstelasi yang berhubungan dengan sistem konstitusi, sistem politik, penegakan HAM serta sistem sosial  yang pluralistik ini. Inilah yang disebut sebagai sistem syar’iyat, dimana lapisan-lapisan dunia lahiriyah berinteraksi untuk kepentingan publik.
Pada sistem syar’iyat, aturan hukum -- namun bukan sebagaimana digerakkan oleh kekuatan-kekuatan  formalisme syariat Islam selama ini – ,  kita berpijak pada gagasan besar membangun kehidupan terbuka, adil dan memihak pada kepentingan rakyat. Pada level inilah Allah swt, memberikan kebebasan kepada publik untuk menentukan kebajikan publiknya, yang kelak memberi penguatan struktural pada sistem politik, penyelenggaraan negara, dan kemakmuran ekonomi rakyat. Inilah yang disebut kaum Sufi dengan penataan kehidupan lahiriyah  (Ishlahudz-Dzowahir).
Kedua, konstelasi  yang berhubungan dengan sistem kebudayaan, penguatan akan keyakinan moral dan akhlak bangsa.  Sistem ini disebut sebagai metode Thariqat, dimana inspirasi teologis menggerakkan etika publik dan individu.  Hubungan teologis dalam kehidupan sosial politik dan ekonomi, hanyalah hubungan inspiratif, karenanya tidak bisa diformulasikan dalam pasal-pasal formal konstitusi. Kelak secara langsung, hubungan ini akan membentuk watak kebangsaan kita dalam sistem kebudayaan.
Konstelasi ini diperlukan mengingat kultur teologis bangsa kita sangat beraneka, satu sama lain membutuhkan akomodasi yang proporsional.  Tanpa akomodasi kultural seperti itu, demokratisasi yang kita kembangkan akan mengalami kebuntuan moral, karena demokrasi hanya akan menimbang mayoritas dan minoritas untuk menentukan kalah dan menang.  Jika hal demikian diterapkan di negeri ini, kekuatan-kekuatan minoritas akan tertindas oleh diktator mayoritas, sekalipun mayoritas itu mengatasnamakan Tuhan untuk legitimasi politiknya. Cara ini untuk menghindari mafioso minoritas yang ekstrim dalam tata ekonomi dan kekuasaan, sebagaimana telah terjadi di masa Orde Baru dulu.
Etika kebangsaan akan berpijak pada tipikal “Thariqat” ini, yang bia dilaksanakan melalui sistem pendidikan nasional. Dengan demikian, sistem Diknas kita perlu perubahan reformatorik, bukan saja kualitas dunia kependidikan kita yang telah terdegradasi dari kualifikasi pendidikan internasional, mengingat peringkat kita telah turun derajatnya menjadi urutan sangat bawah, dibanding Vietnam yang sudah berada di urutan ke 40, dan Malaysia di urutan ke 12. Tetapi juga, dunia pendidikan kita telah kehilangan watak keluhurannya dalam membentuk watak budi pekerti generasi muda bangsa ini.
Pendidikan kita tidak memberi garansi moral para calon pemimpin dan politisi untuk memiliki etika, juga tidak menjamin seorang pengusaha dan penguasa bisa bebas dari hasrat KKN. Jika ini dibiarkan akan muncul anarkhisme moral yang sangat mengancam seluruh elemen bangsa ini, ketika moral  hanya dijadikan alibi untuk menipu publik. Masya Allah!
Ketiga, konstelasi hakikat, bahwa seluruh muara membangun kebersamaan dalam berbangsa ini harus didasari oleh sebuah tujuan mulia, yaitu memandang Cahaya Ketuhanan dibalik proses bersejarah, bahwa segala muara bangsa ini dariNya, bersamaNya, menuju padaNya, besertaNya, lebur padaNya, hanya bagiNya dan bersandar padaNya. Jika terjadi sungguh sangat bercahaya bangsa ini.

KHM Luqman Hakim


Menghentikan “Kekerasan Agama”*

Menghentikan “Kekerasan Agama”*

Oleh Sumanto Al Qurtuby**



Hans Kung, Presiden Stiftung Weltethos (the Foundation for a Global Ethics), sebuah lembaga internasional yang bertujuan untuk membangun dialog antar agama dan perdamaian global, dalam Christianity and the World Religion (1986: 442) menulis, “the most fanatical and cruelest political struggles are those that have been colored, inspired, and legitimized by religion.” Mungkin Hans Kung terlalu berlebihan ketika merumuskan agama sebagai sumber malapetaka paling kejam dalam sejarah kemanusiaan. Rasisme, ethnocentrism, kolonialisme, dan sejumlah ideologi tertentu (misalnya, komunisme dan kapitalisme) juga menjadi faktor penting dalam proses penciptaan “sejarah kegelapan” yang menelan jutaan korban manusia.
Tetapi Hans Kung yang juga Profesor Ecumenical Theology di Universitas Tubingen, Jerman ini jelas tidak sedang berilusi ketika menyatakan agama sebagai faktor yang sangat penting dalam berbagai kasus “kekerasan agama”. Kita harus akui secara jujur dan penuh penyesalan bahwa agama menjadi elemen signifikan dalam kasus-kasus terorisme dan kerusuhan kolektif di tingkat internasional dewasa ini mulai Irlandia Utara (Protestan v Katolik), Mesir (Sunni v Coptic), Arab Saudi (Wahabi v Syiah), Iran (Syi’ah v Sunni atau Syi’ah v Baha’i), India (Hindu v Islam), Sri Lanka (Buddha v Hindu), Thailand (Buddha v Islam), Sudan (Islam v Kristen dan agama-agama suku), Afghanistan (Sunni Pasthun v Islam Wahabi), sampai Indonesia dan Ambon/Maluku (Islam v Islam, Islam v Kristen/kepercayaan lokal) dan masih banyak lagi.

Ahli Islam dan Timur Tengah dari UC Santa Barbara, Mark Juergensmeyer, dalam Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, telah mendokumentasikan dengan baik data-data terorisme global dan kekerasan yang diwarnai, diinspirasi, dan dilegitimasi oleh agama, baik Islam maupun bukan. Agama, kata Juergensmeyer, bisa menjadi mesin pembunuh yang kejam atau medium pengrusak yang sadis, karena ia memuat teks, ajaran, doktrin, slogan, jargon, simbol dan lain-lain yang mampu mengilhami, mendorong, dan menggerakkan para penganut agama untuk melakukan tindakan kejahatan kemanusiaan yang brutal dan aksi-aksi terorisme yang sadis.
Memang dalam setiap melakukan aksi-aksi brutal terorisme dan bentuk-bentuk kekerasan lain, kaum teroris dan para pelaku tindakan kriminal atas nama agama ini juga tidak henti-hentinya mengutip ayat-ayat tertentu, melafalkan dalil-dalil tertentu, mengibarkan simbol-simbol keagamaan tertentu, meneriakkan jargon-jargon keagamaan tertentu, dan memekikkan kalimat-kalimat keagamaan tertentu. Kelompok radikal agama ini selalu mengeksploitasi wacana, ajaran, dan simbol-simbol keagamaan (keislaman) untuk kemudian dijadikan sebagai “legitimasi teologis” guna menggerus dan melibas individu dan kelompok agama yang mereka anggap sesat dan kafir. Ironisnya, para pelaku kriminalitas itu sendiri menganggapnya sebagai “perbuatan mulia” yang berpahala dengan ganjaran surga. Itulah yang diyakini para komplotan teroris yang tergabung dalam sindikat “Jama’ah Islamiyah” (JI) maupun kelompok “Islam ektrim” lain yang tersebar di berbagai negara. Meskipun telah melakukan kejahatan kemanusiaan, mereka tidak merasa berdosa sedikitpun bahkan dengan percaya diri mereka menganggap perbuatan terorisme dan kekerasan itu sudah sesuai dengan “perintah agama” dan “amanat Tuhan”.
 
Penting untuk dicatat bahwa mereka tidak hanya melakukan “kekerasan fisik” seperti pengeboman, kerusuhan, pengrusakan, pembakaran, pengusiran, penjarahan dan lain-lain seperti dilakukan secara istiqamah oleh JI, FPI, FUI dan kaum “Islam Pentungan” lain (hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok radikal/militan agama lain), tetapi juga “kekerasan kultural” berupa penghinaan, pelecehan, dan stigmatisasi menyesatkan lain yang menggunakan doktrin, diskursus, ajaran, teks, dan simbol-simbol keagamaan sebagai dasar legitimasi dan justifikasi tindakan kekerasan. Dalam konteks ini, maka ulama atau ormas-ormas keislaman yang rajin mengeluarkan “fatwa-fatwa sesat” atas kelompok keagamaan atau sekte tertentu sebetulnya juga telah melakukan tindakan “kekerasan agama” karena mereka telah memproduksi fatwa-fatwa kebencian (dan kesesatan) yang kemudian dijadikan sebagai dasar kelompok “Islam ekstrim” untuk melakukan tindakan kekerasan fisik.
 
***

Menyaksikan realitas “kekerasan agama” dan praktek keberagamaan yang tidak peka terhadap kemajemukan ini, membuat tugas dan beban yang ditanggung khususnya oleh kaum moderat agama semakin bertambah berat. Ke depan, umat beragama di bumi pertiwi ini, lebih khusus lagi kaum Muslim, harus semakin memperbanyak “amalan wirid” keislaman yang mencerahkan, mencerdaskan, dan menyejukkan. Islam yang agung ini hanya akan dihargai keagungannya oleh umat dan bangsa lain jika kaum Muslim mempraktekkan wajah keislaman yang dewasa, cerdas, ramah, santun, peaceful, dan demokratik. Percayalah bahwa perilaku umat Islam yang sangar, kasar, arogan, sinis, dan kejam seperti dipraktekkan kaum teroris dan kelompok “Islam ekstrim” di Indonesia ini hanya akan memperburuk citra Islam itu sendiri.
Alih-alih ingin menegakkan Islam sebagai agama yang “unggul dan tidak ada yang lebih unggul darinya” (ya’lu wa la yu’la alaih) seperti yang selama ini didengungkan oleh kaum Muslim militan-konservatif, citra agama “rahmatan lil alamin” ini justru melorot akibat perilaku-perilaku uncivil dan biadab kaum radikal agama ini. Pekik takbir “Allahu Akbar” yang mereka kumandangkan dalam setiap aksi kekerasan dan pengrusakan adalah sebuah pemandangan paradoks dan ironi keagamaan sekaligus bentuk “pengkambinghitaman” terhadap Allah yang Maha Besar itu. Bagaimana tidak, Allah Yang Maha Agung itu didengungkan oleh tangan-tangan kotor dan mulut-mulut kasar kaum “Islam ekstrim” untuk melakukan tindakan kejahatan kemanusiaan?
Apapun alasannya, tindakan kekerasan agama itu baik dalam bentuk terorisme maupun aksi-aksi kejam lainnya harus dihentikan. Aksi-aksi “kekerasan berbasis agama” (religious-based violence) ini tidak hanya mengancam eksistensi minoritas agama, mengancam kemajemukan bangsa, atau berlawanan dengan hak-hak dasar manusia, melainkan juga membahayakan keutuhan bangsa dan negara itu sendiri sebab para pelaku tindakan kekerasan ini mempunyai semangat militan untuk “menyeragamkan” pemikiran dan praktek keagamaan masyarakat yang beraneka ragam ini. Selain itu, mereka juga membawa bendera ideologi keagamaan tertentu yang berpotensi mengancam eksistensi Pancasila sebagai dasar negara sekaligus “common ground” berbagai kelompok masyarakat di bumi pertiwi ini.
Untuk itulah, semua elemen masyarakat, pemerintah, dan aparatus negara harus bahu-membahu bekerja sama menghentikan tindakan anarkis-radikal dan terorisme yang dilakukan kelompok militan agama ini. Aparat hukum juga harus bertindak tegas terhadap kelompok radikal agama ini yang memang sudah jelas-jelas melanggar hak-hak azasi manusia (khususnya hak-hak untuk berekspresi dan menyatakan keyakinan), melawan hukum, meresahkan masyarakat, serta mengganggu ketertiban umum dan kenyamanan publik. Hanya dengan sikap dan tindakan tegas inilah, Indonesia yang didirikan oleh berbagai komponen bangsa ini akan dihargai martabatnya baik di dalam negeri maupun di tingkat internasional sebagai negara demokrasi yang memiliki komitmen penuh terhadap pluralisme dan perlindungan terhadap hak-hak kaum minoritas.[]


*Artikel ini diterbitkan oleh Harian Siwalima, Ambon
**Sekjen Komunitas NU Amerika dan Kanada; Kandidat Doktor di Bidang Antropologi Politik dan Agama, Boston University, Amerika Serikat.

Minggu, 06 Juni 2010

WARA'

WARA’

Oleh: Muqoffa Mahyuddin, SAg.[1]
Penyuluh Agama Islam Kokap

Menurut bahasa menahan  hal yang tidak layak. Dikatakan tawarro’a artinya merasa tidak enak. Al Waro’ juga sesinonim pengertiannya dengan taqwa.
Pengertian wara’ menurut istilah syari’at berasal dari wari’a yari’as, dambil dari materi waro’a mengandung makna mencegah diri dan surut. Al Waro’menurut pengertian bahasa juga berarti memelihara dan mencegah diri terhadap artinya meninggalkan suatu yang meragukan Anda, membuang hal yang membuat anda tercela, mengambil hal yang lebih kuat, dan memaksakan diri untuk melakukan hal dengan lebih hati-hati. Wara’ kesimpulannya ialah menjauhi hal-hal yang subhat dan senantiasa mengawasi detikan hati dan jalannya pikiran.
 Ibnu Taimiyah Rmh. Telah mengatakan sehubungan dengan pengetian wara’. Bahwa wara’ artinya sikap hati-hati terhadap hal yang dikhawatirkan kesudahannya, yaitu hal yang telah diketahui status keharamannya dan juga terhadap hal yang masih diragukan status keharamannya, namun bila ditinggalkan tiada kerusakan yang lebih parah daripada mengerjakannya. Hal ini merupakan syarat yang penting sehubungan dengan sebagai hal yang masih diragukan status hukumnya. Demikian pula halnya dengan ihtiyal (mencari-cari alasan) untuk melakukan hal yang masih diragukan status wajibnya, tetapi pengertiannya berdasarkan sudut pandang ini.
Ibnul Qoyyim rmh. telah mendefinisikan wara’ dengan pengertian  meninggalkan hal yang di khawatirkan akan menimbulkan bahaya dalam kehidupan akhirat nanti. Diantara sarana penghambaan diri dan memohon  pertolongan kepada Allah termasuk pula wara’.
 Sesungguhnya Allah SWT. telah berfirman :
kšr'¯»tƒ ã@ߍ9$# (#qè=ä. z`ÏB ÏM»t6Íh©Ü9$# (#qè=uHùå$#ur $·sÎ=»|¹ ( ÎoTÎ) $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×LìÎ=tæ ÇÎÊÈ
Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Qs. Al Mu’minun(23):51)
Dalam ayat lain telah disebutkan oleh firmanNYa:
y7t/$uÏOur öÎdgsÜsù ÇÍÈ
Dan pakaianmu bersihkanlah,(QS. Al Mudatsir (74): 4)

Yakni bersihkanlah dirimu dari dosa-doa. Dalam ayat ini dipakai ungkapan kinayah (sindiran) untuk menunjukan pengertian diri dengan memakai kata pakaian. Demikianlah menurut sejumlah ulama ahli tahqiq (peneliti) dari kalangan ulama’ tafsir. Perihalnya sama seperti yang dikatakan oleh Ghailan Ats Tsaqafi dalam ungkapan berikut: ”Segala puji bagi Allah, karena sesungguhnya aku tidak pernah mengenakan pakaian khianat maupun kedoknya.”
Tidak diragukan lagi bahwa membersihkan diri dari berbagai macam najis dan membebaskannya merupakan bagian dari pembersihan yang diperintahkan, karena dengan merealisasikan hal ini, berarti akan menjadi sempurnalah perbaikan amalan dan akhlaq. Makna yang dimaksud ialah bahwa wara’ akan mensucikan hati seorang hamba dari najis dan kotorannya, sebagaimana air dapat mensucikan pakaian dari kotoran dan najisnya. Demikian itu karena di antara pakaian dan kalbu terdapat hubungan yang jelas.
Sesungguhnya Nabi SAW. Telah menghimpun pengertian wara’ dalam suatu kalimat melalui sabdanya;
“Termasuk kebaikan Islam seseorang ialah bila ia meninggalkan apa yang tidak berkepentingan baginya.”
Pengertian makna haditas ini mencakup anjuran untuk meningglkan sesuatu yang bukan menjadi urusannya, baik yang berupa ucapan, pandangan, pendengaran, pukulan tangan, jalan kaki, pikiran maupun semua gerakan, baik yang lahir maupun yang batin. Kalimat ini cukup memberikan pengertian yang memaskan pengertian wara’.
Ibrahim bin A’dham telah mengatakan : Wara’ ialah meninggalkan setiap perkara yang syubhat, meninggalkan hal yang menjadi urusanmu, dan meninggalkan hal-hal yang tiada artinya.”
Tirmidzi telah meriwayatkan sebua hadits yang berpredikat marfu’:

“Hai Abu Hurairah, jadilah kamu seorang yang memiliki perasaan wara’, niscaya engkau akan menjadi orang yang paling ahli dalam beribadah!”
Seorang hamba tidak akan mencapai hakikat taqwa sebelum meninggalkan hal yang tidak mengapa karena khawatir akan terjerumus ke dalam hal yang ada apanya. Salah seorang dari ulama’ mengatakan “Dahulu kami meninggalkan 70 macam perkara yang halal karena khawatir terjerumus ke dalam perkara yang haram.”
Sehubungan dengan topik wara’ ini terdapat masalah yang sangat penting kaitannya dengan wara’, yaitu masalah ilmu, karena sungguhnya wara’ tidak mungkin dapat direalisasikan tanpa ilmu. Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rmh. Telah mengatakan dalam pernyataannya bahwa wara’ dapat direalsasikan dengan sempurna apabila orang yang bersangkutan telah mengetahui hal yang terbaik diantara dua hal yang baik dan hal yang terburuk diantara dua hal yang buruk. Dia mengetahui bahwa hukum syariat itu pada dasarnya dibangun di atas dasar kriteria yang mengacu pada kemaslahatan dan kesempurnaannya atau mengantisipasi tejadinya keusakan dan meminimalisirnya. Karena sesungguhnya barang siapa yang tidak memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang bermaslahat bagi syariat  dan hal-hal yang merusaknya, sudah barang tentu dia tidak mempunyai parameter tertentu terhadap sesuatu yang harus dilakukan an harus ditinggalkannya. Bahkan bisa jadi dia akan meninggalkan hal-hal yang wajib dan justru terjebak ke dalam hal-hal yang diharamkan, dan ironisnya dia menganggap sikapnya sebagai hal yang sesuai dengan citra wara’.
Sebagai contohnya, misalnya seseorang enggan melakukan jihad karena yang diangkat menjadi komandannya adalah orang yang fasiq, lalu dia beranggapan bahwa sikapnya itu adalah wara’ Ketika pasukan kaum muslimin telah dibentuk oleh sang amir di bawah pimpinan panglima yang agak fasiq untuk berjihad melawan orang –orang kafir yang datang menyerang negerinya, seseorang dari yang diserbu untuk bergabung mengemukakan keengganannya dan mengatakan;” Aku tidak mau berjihad di belakang orang fasiq ini. ”Jika demikian, apakah yang bakal terjadi? Sudah jelas pasukan musuh akan mudah mengalahkan pasukan kaum muslimin dan mengacak-acak negerinya.
 Salah seorang dari mereka ayahnya meninggal dunia dengan meninggalkan harta syubhat yang cukup banyak, sementara sang ayah mempunyai banyak utang. Ketika orang-orang datang menagih utang  ayahnya dan meminta hak mereka, dia mengatakan: “Aku enggan membayar utang-utang ayahku dari harta yang syubhat”. “Wara’ seperti ini tiak dapat dibenarkan dan pelakunya adalah orang yang jahil.
Kalau demikian, kebodohan akan membuat seseorang meninggalkan kewajiban, kemudian menganggap  sikapnya sebagai wara’. Dia enggan melakukan sholat Jumu’ah dan sholat berjama’ah di belakang para imam yang sering melakukan perbuatan bid’ah yang tidak menjurus pada kekafiran atau perbuatan yang fasiq, lalu ia menganggap sikapnya sebagai wara’. Dia pun tidak mau menerima kesaksian para hamba Allah atau mengambil ilmu dari orang ‘alim karena pelakunya masih melakukan bid’ah yang tersembunyi, lalu dia menganggap bahwa sikapnya yang tidak mau mendengar kebenaran yang harus didengarnya itu sebagai perbuatan wara’.
Di antara kaidah wara’ ialah apa yang diingatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rhm. melalui ungkapannya; ”Terhadap hal-hal yang diwajibkan dan yang disunahkan tidak boleh dilakukan zuhud maupu wara’. Namun sebaliknya, jika menyangkut hal-hal yang diharamkan dan yang dimakruhkan, maka sudah sepantasnya dilakukan sikap zuhud dan wara’ terhadapnya.”
Dalam ungkapan yang lain dia mengatakan pula bahwa wara’ ialah menahan diri terhadap hal-hal yang diharamkan, atau terkadang bisa mendatangkan bahaya alias hal-hal yang subhat.
Dengan demikian, termasuk ke dalam pengertian wara’ sikap antisipasi terhadap perkara yang diharamkan dan juga terhadap perkara syubhat, sebab adakalanya perkara syubhat itu membahayakan. Karena sesunguhnya barang siapa yang menghindarkan dirinya dari perkara yang subhat, berarti dia telah membersihkan harga diri dan agamanya; dan barang siapa yang terjerumus ke dalam perbuatan yang subhat, pasti akan terjerumus ke dalam perkara yang diharamkan. Perihalnya sama dengan seseorang yang menggembalakan ternaknya di dekat daerah yang terlarang, tak ayal lagi dia pasti akan melanggarnya.
 Adapun bersikap wara’ terhadap hal - hal yang tidak membahayakan atau tidak mengandung resiko yang membahayakan karena dibarengi oleh faktor yang positif mendatangkan manfaat atau dapat menolak bahaya lain yang positif, maka siap seperti ini sama dengan kebodohan dan perbuatan aniaya. Oleh karena itu, terhadap tiga perkara berikut tidak boleh dilkaukan sikap wara’, yaitu hal-hal yang mengandung manfaat yang memadai, kuat, lagi murni, seperti perkara yang murni diperbolekan, perkara yang disunahkan, atau perkara yang diwajibkan. Sesungguhnya sikap wara’ terhadap perkara ini sama dengan kesesatan.
Sebagaia ulama’ ada yang mengklasifikasikan wara’ terdiri dari tiga tingkatan:
1. Bersifat wajib, yaitu menahan diri dari perkara yang diharamkan, dan berlaku bagi semua orang.
2. Enggan melakukan perkara yang subhat, namun yang melakukan hal ini sedikit jumlahnya.
3. Menahan diri terhadap banyak halyang dihalalkan dan membatasinya hanya pada hal-hal yang bersifat primer. Sikap ini hanya dilakukan oleh para nabi, orang-orang yang benar, para syuhada’ (pejuang agama), dan orang-orang yang shalih.

 Dapat disimpulkan dari keterangan di atas bahwa wara’ ialah menahan diri terhadap beberapa hal yang diperbolehkan karena mengandung resiko akan mengakibatkan kelalaian terhadap Allah dan hari akhirat, sedang  sikapnya itu sesuai dengan tuntunan sunnah. Oleh karena itu, sebagai contohnya orang yang bersangkutan tidak enggan untuk menikah dan makan.
Kalau demikian, bererti wara’ ialah menahan diri terhadap hal-hal yang diharamkan, terhadap tiap-tiap pekara syubhat, dan juga terhadap sebagian perkara halal yang jika dilakukan dikhawatirkan akan menjerumuskan diri pelakunya ke dalam perbuatan yang diharamkan. Apabila seseorang hendak menyempurnakan wara’nya karena ingin meraih derajat yang paling tinggi, maka hendaknya dia bersikap wara’ terhadap semua hal yang bukan karena Allah. Selain itu, seandainya seseorang melakuka hal yang diperbolehkan dengan niat yang baik, misalnya makan dengan niat untuk menguatkan diri dalam melakukan ketaatan, tidur dengan niat akan bangun di tengah malam untuk qiyamul lail, serta nikah dengan niat untuk memberi nafkah kepada istri dan beroleh anak, memelihara  kesucian diri, dan memperbanyak kaum muslimin, dan sebagainya,tentuah hal yang boleh ini berubah statusnya menjadi ketaatan dan amal ibadah. Sehubungan dengan hal-hal seperti ini, seseorang tidak boleh bersikap wara’ terhadapnya, melainkan hanya namun bila dilakukan akan menjerumuskannya ke dalam perbuatan yang diharamkan atau melalaikan hatinya dari mengingat Allah dan hari akhirat. Bersikap wara’ terhadap kasus-kasus seperti ini diperbolehkan.
Setiap kali seseorang bersikap wara’, maka semakin cepatlah dia dalam melampauai sirath nanti di hari kemudian, kerena semakin ringan beban yang memeberati punggungnya.
 Derajat manusia berbeda-beda di negeri akhirat nanti sesuai dengan perbedaan derajat kewara’an mereka. Wara’  ialah menjauhi segala keburukan dengan niat yang tulus, giat menabung kebaikan, dan memelihara iman, dan juga menjauhi batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam arti kata seorang muslim harus bersikap waspada jangan sampai mendekati batasan-batasan yang tela ditetapkan oleh Allah, karena sesungguhnya sikap mendekat kepadanya justu akan mendorongnya untuk melampauinya.
Sesungguhnya Allah telah berfirman :
y7ù=Ï? ߊrßãn «!$# Ÿxsù $ydqç/tø)s? 3
Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. (QS. Al Baqarah: 187)
y7ù=Ï? ߊrßãn «!$# Ÿxsù $ydrßtG÷ès?
Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. (QS. Al Baqarah: 229)

Batasan-batasan ini dimaksudkan sebagai penghujung perkara halal yang dilarang untuk didekati, dan dari sisi lain  batasan-batasan ini diartikan pula dengan pengertian permulaan dari perkara yang halal, dalam arti kata janganlah kalian melampauai hal-hal yang diperbolehkan oleh Allah bagi kalian dan jangan pula kalian mendekati hal-hal yang diharamkan oleh Allah bagi kalian.

             Faedah wara’;
  1. Terhindar dari azab Tuhan yang Maha Pemurah
  2. Terhindar dari hal-hal yang diharamkan
  3. Dijauhkan dari sikap membuang-buang waktu untuk hal yang tidak berfaedah
  4. Mendatangkan kecintaan Allah
  5. Do’a yang bersangkutan dikabulkan
  6. Beroleh keridhoan dari tuhan yang maha pemurah
  7. Manusia berbeda – beda tingkatannya di dalam surga nanti sesuai dengan perbedaan tingkatan mereka dalam hal kewara’an.
 Kesimpulan, kendali agama adalah wara’ Seorang ahli fiqih yang zuhud lagi menetapi Sunnah Nabi SAW akan memperoleh pahala yang sangat besar pada hari Pembalasan nanti.
                                                                                    Wates, 7 Juni 2010



[1]Penulis adalah penyuluh Agama Islam fungsional Kabupaten Kulon Progo, kuliah pascasarjana Studi Agama dan Resolusi Konflik di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, disampaikan dalam Kultum di mushola Kantor Kemenag Kab Kulon Progo

WARA'

WARA’

Oleh: Muqoffa Mahyuddin, SAg.[1]
Penyuluh Agama Islam Kokap

Menurut bahasa menahan  hal yang tidak layak. Dikatakan tawarro’a artinya merasa tidak enak. Al Waro’ juga sesinonim pengertiannya dengan taqwa.
Pengertian wara’ menurut istilah syari’at berasal dari wari’a yari’as, dambil dari materi waro’a mengandung makna mencegah diri dan surut. Al Waro’menurut pengertian bahasa juga berarti memelihara dan mencegah diri terhadap artinya meninggalkan suatu yang meragukan Anda, membuang hal yang membuat anda tercela, mengambil hal yang lebih kuat, dan memaksakan diri untuk melakukan hal dengan lebih hati-hati. Wara’ kesimpulannya ialah menjauhi hal-hal yang subhat dan senantiasa mengawasi detikan hati dan jalannya pikiran.
 Ibnu Taimiyah Rmh. Telah mengatakan sehubungan dengan pengetian wara’. Bahwa wara’ artinya sikap hati-hati terhadap hal yang dikhawatirkan kesudahannya, yaitu hal yang telah diketahui status keharamannya dan juga terhadap hal yang masih diragukan status keharamannya, namun bila ditinggalkan tiada kerusakan yang lebih parah daripada mengerjakannya. Hal ini merupakan syarat yang penting sehubungan dengan sebagai hal yang masih diragukan status hukumnya. Demikian pula halnya dengan ihtiyal (mencari-cari alasan) untuk melakukan hal yang masih diragukan status wajibnya, tetapi pengertiannya berdasarkan sudut pandang ini.
Ibnul Qoyyim rmh. telah mendefinisikan wara’ dengan pengertian  meninggalkan hal yang di khawatirkan akan menimbulkan bahaya dalam kehidupan akhirat nanti. Diantara sarana penghambaan diri dan memohon  pertolongan kepada Allah termasuk pula wara’.
 Sesungguhnya Allah SWT. telah berfirman :
kšr'¯»tƒ ã@ߍ9$# (#qè=ä. z`ÏB ÏM»t6Íh©Ü9$# (#qè=uHùå$#ur $·sÎ=»|¹ ( ÎoTÎ) $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×LìÎ=tæ ÇÎÊÈ
Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Qs. Al Mu’minun(23):51)
Dalam ayat lain telah disebutkan oleh firmanNYa:
y7t/$uÏOur öÎdgsÜsù ÇÍÈ
Dan pakaianmu bersihkanlah,(QS. Al Mudatsir (74): 4)

Yakni bersihkanlah dirimu dari dosa-doa. Dalam ayat ini dipakai ungkapan kinayah (sindiran) untuk menunjukan pengertian diri dengan memakai kata pakaian. Demikianlah menurut sejumlah ulama ahli tahqiq (peneliti) dari kalangan ulama’ tafsir. Perihalnya sama seperti yang dikatakan oleh Ghailan Ats Tsaqafi dalam ungkapan berikut: ”Segala puji bagi Allah, karena sesungguhnya aku tidak pernah mengenakan pakaian khianat maupun kedoknya.”
Tidak diragukan lagi bahwa membersihkan diri dari berbagai macam najis dan membebaskannya merupakan bagian dari pembersihan yang diperintahkan, karena dengan merealisasikan hal ini, berarti akan menjadi sempurnalah perbaikan amalan dan akhlaq. Makna yang dimaksud ialah bahwa wara’ akan mensucikan hati seorang hamba dari najis dan kotorannya, sebagaimana air dapat mensucikan pakaian dari kotoran dan najisnya. Demikian itu karena di antara pakaian dan kalbu terdapat hubungan yang jelas.
Sesungguhnya Nabi SAW. Telah menghimpun pengertian wara’ dalam suatu kalimat melalui sabdanya;
“Termasuk kebaikan Islam seseorang ialah bila ia meninggalkan apa yang tidak berkepentingan baginya.”
Pengertian makna haditas ini mencakup anjuran untuk meningglkan sesuatu yang bukan menjadi urusannya, baik yang berupa ucapan, pandangan, pendengaran, pukulan tangan, jalan kaki, pikiran maupun semua gerakan, baik yang lahir maupun yang batin. Kalimat ini cukup memberikan pengertian yang memaskan pengertian wara’.
Ibrahim bin A’dham telah mengatakan : Wara’ ialah meninggalkan setiap perkara yang syubhat, meninggalkan hal yang menjadi urusanmu, dan meninggalkan hal-hal yang tiada artinya.”
Tirmidzi telah meriwayatkan sebua hadits yang berpredikat marfu’:

“Hai Abu Hurairah, jadilah kamu seorang yang memiliki perasaan wara’, niscaya engkau akan menjadi orang yang paling ahli dalam beribadah!”
Seorang hamba tidak akan mencapai hakikat taqwa sebelum meninggalkan hal yang tidak mengapa karena khawatir akan terjerumus ke dalam hal yang ada apanya. Salah seorang dari ulama’ mengatakan “Dahulu kami meninggalkan 70 macam perkara yang halal karena khawatir terjerumus ke dalam perkara yang haram.”
Sehubungan dengan topik wara’ ini terdapat masalah yang sangat penting kaitannya dengan wara’, yaitu masalah ilmu, karena sungguhnya wara’ tidak mungkin dapat direalisasikan tanpa ilmu. Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rmh. Telah mengatakan dalam pernyataannya bahwa wara’ dapat direalsasikan dengan sempurna apabila orang yang bersangkutan telah mengetahui hal yang terbaik diantara dua hal yang baik dan hal yang terburuk diantara dua hal yang buruk. Dia mengetahui bahwa hukum syariat itu pada dasarnya dibangun di atas dasar kriteria yang mengacu pada kemaslahatan dan kesempurnaannya atau mengantisipasi tejadinya keusakan dan meminimalisirnya. Karena sesungguhnya barang siapa yang tidak memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang bermaslahat bagi syariat  dan hal-hal yang merusaknya, sudah barang tentu dia tidak mempunyai parameter tertentu terhadap sesuatu yang harus dilakukan an harus ditinggalkannya. Bahkan bisa jadi dia akan meninggalkan hal-hal yang wajib dan justru terjebak ke dalam hal-hal yang diharamkan, dan ironisnya dia menganggap sikapnya sebagai hal yang sesuai dengan citra wara’.
Sebagai contohnya, misalnya seseorang enggan melakukan jihad karena yang diangkat menjadi komandannya adalah orang yang fasiq, lalu dia beranggapan bahwa sikapnya itu adalah wara’ Ketika pasukan kaum muslimin telah dibentuk oleh sang amir di bawah pimpinan panglima yang agak fasiq untuk berjihad melawan orang –orang kafir yang datang menyerang negerinya, seseorang dari yang diserbu untuk bergabung mengemukakan keengganannya dan mengatakan;” Aku tidak mau berjihad di belakang orang fasiq ini. ”Jika demikian, apakah yang bakal terjadi? Sudah jelas pasukan musuh akan mudah mengalahkan pasukan kaum muslimin dan mengacak-acak negerinya.
 Salah seorang dari mereka ayahnya meninggal dunia dengan meninggalkan harta syubhat yang cukup banyak, sementara sang ayah mempunyai banyak utang. Ketika orang-orang datang menagih utang  ayahnya dan meminta hak mereka, dia mengatakan: “Aku enggan membayar utang-utang ayahku dari harta yang syubhat”. “Wara’ seperti ini tiak dapat dibenarkan dan pelakunya adalah orang yang jahil.
Kalau demikian, kebodohan akan membuat seseorang meninggalkan kewajiban, kemudian menganggap  sikapnya sebagai wara’. Dia enggan melakukan sholat Jumu’ah dan sholat berjama’ah di belakang para imam yang sering melakukan perbuatan bid’ah yang tidak menjurus pada kekafiran atau perbuatan yang fasiq, lalu ia menganggap sikapnya sebagai wara’. Dia pun tidak mau menerima kesaksian para hamba Allah atau mengambil ilmu dari orang ‘alim karena pelakunya masih melakukan bid’ah yang tersembunyi, lalu dia menganggap bahwa sikapnya yang tidak mau mendengar kebenaran yang harus didengarnya itu sebagai perbuatan wara’.
Di antara kaidah wara’ ialah apa yang diingatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rhm. melalui ungkapannya; ”Terhadap hal-hal yang diwajibkan dan yang disunahkan tidak boleh dilakukan zuhud maupu wara’. Namun sebaliknya, jika menyangkut hal-hal yang diharamkan dan yang dimakruhkan, maka sudah sepantasnya dilakukan sikap zuhud dan wara’ terhadapnya.”
Dalam ungkapan yang lain dia mengatakan pula bahwa wara’ ialah menahan diri terhadap hal-hal yang diharamkan, atau terkadang bisa mendatangkan bahaya alias hal-hal yang subhat.
Dengan demikian, termasuk ke dalam pengertian wara’ sikap antisipasi terhadap perkara yang diharamkan dan juga terhadap perkara syubhat, sebab adakalanya perkara syubhat itu membahayakan. Karena sesunguhnya barang siapa yang menghindarkan dirinya dari perkara yang subhat, berarti dia telah membersihkan harga diri dan agamanya; dan barang siapa yang terjerumus ke dalam perbuatan yang subhat, pasti akan terjerumus ke dalam perkara yang diharamkan. Perihalnya sama dengan seseorang yang menggembalakan ternaknya di dekat daerah yang terlarang, tak ayal lagi dia pasti akan melanggarnya.
 Adapun bersikap wara’ terhadap hal - hal yang tidak membahayakan atau tidak mengandung resiko yang membahayakan karena dibarengi oleh faktor yang positif mendatangkan manfaat atau dapat menolak bahaya lain yang positif, maka siap seperti ini sama dengan kebodohan dan perbuatan aniaya. Oleh karena itu, terhadap tiga perkara berikut tidak boleh dilkaukan sikap wara’, yaitu hal-hal yang mengandung manfaat yang memadai, kuat, lagi murni, seperti perkara yang murni diperbolekan, perkara yang disunahkan, atau perkara yang diwajibkan. Sesungguhnya sikap wara’ terhadap perkara ini sama dengan kesesatan.
Sebagaia ulama’ ada yang mengklasifikasikan wara’ terdiri dari tiga tingkatan:
1. Bersifat wajib, yaitu menahan diri dari perkara yang diharamkan, dan berlaku bagi semua orang.
2. Enggan melakukan perkara yang subhat, namun yang melakukan hal ini sedikit jumlahnya.
3. Menahan diri terhadap banyak halyang dihalalkan dan membatasinya hanya pada hal-hal yang bersifat primer. Sikap ini hanya dilakukan oleh para nabi, orang-orang yang benar, para syuhada’ (pejuang agama), dan orang-orang yang shalih.

 Dapat disimpulkan dari keterangan di atas bahwa wara’ ialah menahan diri terhadap beberapa hal yang diperbolehkan karena mengandung resiko akan mengakibatkan kelalaian terhadap Allah dan hari akhirat, sedang  sikapnya itu sesuai dengan tuntunan sunnah. Oleh karena itu, sebagai contohnya orang yang bersangkutan tidak enggan untuk menikah dan makan.
Kalau demikian, bererti wara’ ialah menahan diri terhadap hal-hal yang diharamkan, terhadap tiap-tiap pekara syubhat, dan juga terhadap sebagian perkara halal yang jika dilakukan dikhawatirkan akan menjerumuskan diri pelakunya ke dalam perbuatan yang diharamkan. Apabila seseorang hendak menyempurnakan wara’nya karena ingin meraih derajat yang paling tinggi, maka hendaknya dia bersikap wara’ terhadap semua hal yang bukan karena Allah. Selain itu, seandainya seseorang melakuka hal yang diperbolehkan dengan niat yang baik, misalnya makan dengan niat untuk menguatkan diri dalam melakukan ketaatan, tidur dengan niat akan bangun di tengah malam untuk qiyamul lail, serta nikah dengan niat untuk memberi nafkah kepada istri dan beroleh anak, memelihara  kesucian diri, dan memperbanyak kaum muslimin, dan sebagainya,tentuah hal yang boleh ini berubah statusnya menjadi ketaatan dan amal ibadah. Sehubungan dengan hal-hal seperti ini, seseorang tidak boleh bersikap wara’ terhadapnya, melainkan hanya namun bila dilakukan akan menjerumuskannya ke dalam perbuatan yang diharamkan atau melalaikan hatinya dari mengingat Allah dan hari akhirat. Bersikap wara’ terhadap kasus-kasus seperti ini diperbolehkan.
Setiap kali seseorang bersikap wara’, maka semakin cepatlah dia dalam melampauai sirath nanti di hari kemudian, kerena semakin ringan beban yang memeberati punggungnya.
 Derajat manusia berbeda-beda di negeri akhirat nanti sesuai dengan perbedaan derajat kewara’an mereka. Wara’  ialah menjauhi segala keburukan dengan niat yang tulus, giat menabung kebaikan, dan memelihara iman, dan juga menjauhi batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam arti kata seorang muslim harus bersikap waspada jangan sampai mendekati batasan-batasan yang tela ditetapkan oleh Allah, karena sesungguhnya sikap mendekat kepadanya justu akan mendorongnya untuk melampauinya.
Sesungguhnya Allah telah berfirman :
y7ù=Ï? ߊrßãn «!$# Ÿxsù $ydqç/tø)s? 3
Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. (QS. Al Baqarah: 187)
y7ù=Ï? ߊrßãn «!$# Ÿxsù $ydrßtG÷ès?
Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. (QS. Al Baqarah: 229)

Batasan-batasan ini dimaksudkan sebagai penghujung perkara halal yang dilarang untuk didekati, dan dari sisi lain  batasan-batasan ini diartikan pula dengan pengertian permulaan dari perkara yang halal, dalam arti kata janganlah kalian melampauai hal-hal yang diperbolehkan oleh Allah bagi kalian dan jangan pula kalian mendekati hal-hal yang diharamkan oleh Allah bagi kalian.

             Faedah wara’;
  1. Terhindar dari azab Tuhan yang Maha Pemurah
  2. Terhindar dari hal-hal yang diharamkan
  3. Dijauhkan dari sikap membuang-buang waktu untuk hal yang tidak berfaedah
  4. Mendatangkan kecintaan Allah
  5. Do’a yang bersangkutan dikabulkan
  6. Beroleh keridhoan dari tuhan yang maha pemurah
  7. Manusia berbeda – beda tingkatannya di dalam surga nanti sesuai dengan perbedaan tingkatan mereka dalam hal kewara’an.
 Kesimpulan, kendali agama adalah wara’ Seorang ahli fiqih yang zuhud lagi menetapi Sunnah Nabi SAW akan memperoleh pahala yang sangat besar pada hari Pembalasan nanti.
                                                                                    Wates, 7 Juni 2010



[1]Penulis adalah penyuluh Agama Islam fungsional Kabupaten Kulon Progo, kuliah pascasarjana Studi Agama dan Resolusi Konflik di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, disampaikan dalam Kultum di mushola Kantor Kemenag Kab Kulon Progo