Minggu, 03 Agustus 2008

"Gebrakan Ilmiah NU Pasuruan Bongkar Kebohongan Aktivis Gender"


"Gebrakan Ilmiah NU Pasuruan Bongkar Kebohongan Aktivis Gender"

Belum lama ini, (September 2004), Rabithatul Ma'ahid Islamiyah
(RMI), Cabang Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, menerbitkan sebuah buku
berjudul "Menguak Kebatilan dan Kebohongan Sekte FK3". RMI adalah
organisasi ikatan Pondok Pesantren di bawah Naungan Organisasi Nahdhatul
Ulama (NU). Buku ini merupakan hasil kajian ilmiah Forum Kajian Islam
Tradisional Pasuruan (FKIT), yang beranggotakan kyai-kyai muda dari
berbagai pesantren, seperti Abdulhalim Mutamakkin, Muhibbul Aman Ali, HA
Baihaqi Juri, M. Idrus Ramli, dan sebagainya.=20

Para kyai itu merasa resah dengan terbitnya sebuah buku berjudul
"Wajah Baru Relasi Suami-Istri, Telaah Kitab 'Uqud al-Lujayn', karya Imam
Nawawi al-Bantani, seorang ulama terkenal yang dijuluki 'Sayyid Ulama
Hijaz'. Maka mereka melakukan diskusi ilmiah intensif lebih dari 20 kali,
dan hasilnya keluarlah sebuah buku ilmiah yang menarik ini. Tentu saja,
aktivitas ilmiah ini sangat membanggakan, mengingat begitu besarnya
perhatian para elite NU terhadap masalah-masalah politik, seputar
pemilihan Presiden tahun 2004. Sebagai 'ulama' pewaris para Nabi, para
kyai itu tampaknya tidak melupakan tugasnya untuk menjaga aqidah umat, di
tengah situasi dan kondisi yang tidak terlalu mendukung perjuangan ilmiah
mereka. Menyimak isi buku ini, bisa dikatakan, para kyai muda itu memiliki
daya intelektual dan penguasaan literatur-literatur Islam yang cukup
mendalam. Ratusan kitab-kitab klasik dikaji dan disajikan dengan baik
dalam buku ini.=20

KH Abdulhalim Mutamakkin, Ketua RMI Kabupaten Pasuruan, dalam
pengantarnya menyatakan, bahwa mengkritisi sebuah karya memang perbuatan
yang terpuji dalam rangka mencari suatu kebenaran. Akan tetapi apabila
dilakukan dengan cara dan tujuan yang tidak benar atau oleh orang yang
tidak memiliki cukup ilmu untuk memahami karya yang bersangkutan, maka
harus diluruskan. KH Ahmad Subadar, Rais Syuriah PCNU Kabupaten Pasuruan,
menulis dalam pengantarnya, "Saya telah melihat dan membaca risalah ini,
dan saya mengambil kesimpulan, bahwa risalah ini adalah benar-benar
menegakkan ajaran Rasululah saw, dan meluruskan paham orang yang salah,
melenceng dari tuntunan ulama'una al-salaf.=20

Telaah kritis para ulama Jawa Timur ini sungguh menyejukkan. Di
tengah kegersangan situasi intelektual, mereka mau dan berani berbicara
yang benar, mereka berani melawan arus besar, Gerakan yang mengatasnamakan
kesetaraan gender, yang justru disebarkan oleh para elite NU sendiri. Apa
yang mereka sebut sebagai "Sekte FK3" (Forum Kajian Kitab Kuning), yang
melakukan tindakan kebatilan dan kebohongan, adalah orang-orang yang cukup
terkenal di kalangan NU sendiri. Di situ ada nama Sinta Nuriyah
Abdurrahman Wahid, Masdar F. Masudi, Husen Muhammad, Lies Marcus, dan
sebagainya. Namun, para kyai dari kota kecil di Jawa Timur itu tidak
gentar dan mampu membuktikan, bahwa buku yang diterbitkan oleh FK3, yang
mengkritik kitab 'Uqud al-Lujayn, adalah buku yang bertaburan dengan
kebatilan dan kebohongan. Bagi kaum Muslimin yang tidak mempunyai
kemampuan dan keakraban dalam membaca karya-karya klasik ulama Islam,
memang bisa terpengaruh. Apalagi yang memang menginginkan masuknya paham
kesetaraan gender ala Barat dalam masyarakat Islam.=20

Orang-orang yang membawa ideologi kesetaraan gender ke dalam
pondok-pondok pesantren adalah juga orang-orang yang mempelajari
kitab-kitab klasik dan mencantumkan rujukan mereka pada karya-karya klasik
ulama Islam. Namun, melalui buku terbitan RMI Pasuruan ini, kebohongan dan
kebatilan kelompok FK3 itu dibongkar satu persatu.=20

Misalnya, penilaian FK3 terhadap hadits "Barangsiapa yang
meniru-niru suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka." Terhadap hadits
ini, FK3 menulis: "jalur hadits ini dhaif sebagaimana ditetapkan oleh
al-Sakhawi dalam Kitab "al-Maqashid al-Hasanah". Pendapat itu dijernihkan
oleh FKIT, dengan menyebutkan, bahwa al-Albani dalam "Irwa' al-Ghalil fi
Takhrij Ahadits Manar al-Sabil" (hadits no 1269), menyatakan hadits itu
sahih. Kata-kata Sakhawi juga dipotong. Aslinya merupakan ungkapan dari
al-Munawi dalam Faidh al-Qadir, yang berbunyi: "Al-Sakhawi berkata, sanad
hadits Ibnu Umar dhaif akan tetapi memiliki beberapa syahid. Ibnu Taimiyah
berkata, sanadnya jayyid, dan Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari,
sanadnya hasan." FK3 memilih komentar al-Sakhawi karena menilai sanadnya
dhaif, dan tidak ingin menggunakan hadits itu.=20

Contoh lain, adalah sebuah hadith tentang larangan berkhalwat
(berudua-duaan) antara laki-laki dan wanita, yang dikatakan FK3 sebagai
hadits dhaif. Padahal, ada hadits lain dengan makna yang sama yang sahih.
Tetapi hal ini tidak disebutkan oleh FK3. Contoh lain adalah soal
kepemimpinan laki-laki terhadap wanita, sesuai ayat 34 surat an-Nisa':
"Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita),
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka."=20

FK3 menulis komentar tentang ayat ini bahwa : "Mayoritas ulama fiqih
dan tafsir berpendapat bahwa qiwamah (kepemimpinan) hanyalah terbatas pada
laki-laki dan bukan pada perempuan, karena laki-laki memiliki keunggulan
dalam mengatur, berfikir, kekuatan fisik dan mental. Kata-kata FK3 itu
dikritik FKIT, dengan disebutkan, bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan
diantara ulama fiqih dan tafsir tentang kepemimpinan laki-laki dalam rumah
tangga termasuk dalam kepemimpinan negara (imamah). Masalah kepemimpinan
laki-laki ini dibahas dengan panjang lebar dan tampak bahwa argumentasi
FK3 atau aktivis kesetaraan gender, memang tidak kuat dan hanya
dicocok-cocokkan dengan kemauan dan tujuan ideologi kesetaraan gender,
yang belum tentu cocok dengan Islam.=20

Soal kepemimpinan laki-laki ini dihujat oleh FK3, dengan menyatakan,
bahwa "di masa sekarang dalam bidang ekonomi atau sosial, banyak perempuan
yang lebih unggul daripada laki-laki."=20

Argumentasi FK3 ini sangatlah lemah, sebab sejak dulu, ada saja
wanita yang lebih unggul dari laki-laki. Khadijah r.a. adalah seorang
wanita bangsawan dan kaya raya dan banyak mempekerjakan laki-laki,
termasuk Rasulullah saw, di masa mudanya. Siti Aisyah r.a., juga seorang
wanita yang unggul dalam kepemimpinan dan intelektual, melebihi banyak
kaum laki-laki di zaman itu. Belum lama ini terbit sebuah kitab fiqih
hasil ijtihad ulama perempuan terkemuka, yaitu Aisyah r.a. berjudul
"Mausu'ah Fiqh 'Aisyah Ummu al-Mu'minin Hayatuha wa Fiqhuha", setebal 733
halaman. Hasil ijtihad beliau sebagai seorang perempuan, tidak berbeda
dengan hasil ijtihad para mujtahid laki-laki. Namum, seringkali tuduhan
kepada para mujtahid dan fuqaha ditimpakan, bahwa fiqih didominasi oleh
laki-laki, dan ajaran agama ditafsirkan berdasarkan kepentingan
laki-laki."=20

Demikianlah kajian FKIT Pasuruan yang perlu ditelaah dna
didiskusikan lebih jauh, khususnya bagi kalangan NU, dan kaum Muslim pada
umumnya. Sebab, saat ini begitu gencar serangan terhadap ajaran-ajaran
Islam yang dinilai para aktivis gender ala sekular-Barat tidak cocok
dengan zaman. Tuduhan-tuduhan bahwa ajaran Islam banyak didominasi oleh
kaum laki-laki, seperti datang bertubi-tubi, sehingga bantak yang kemudian
meragukan ketulusan dan kecanggihan ijtihad para ulama terdahulu. Padahal,
sepanjang sejarah Islam, begitu juga banyak diantara ulama-ulama Islam
adalah wanita. Tetapi, mereka tidak pernah menggugat masalah kepemimpinan
laki-laki dalam rumah tangga, atau berbagai masalah yang dipersoalkan oleh
aktivis kesetaraan gender, seperti sekarang ini. Kepemimpinan bukan hanya
soal "hak", tetapi juga tanggung jawab. Artinya, bagi laki-laki, tanggung
jawab itu belaku di dunia dan akhirat. Dalam soal kepemimpinan negara pun,
banyak rakyat yang lebih pintar dan mahir dalam kepemimpinan dari kepala
negaranya. Oleh karena itu, seyogyanya, wanita memilih calon suaminya yang
"sekufu" atau laki-laki yang memang mampu menjadi pemimpin. Bisa saja
istri lebih pintar dari suaminya, tetapi hak kepemimpinan memang ada pada
suaminya, termasuk hak talak. Pemimpin yang baik, pasti akan memanfaatkan
kepintaran istrinya. Ini bukan masalah baru, sudah banyak rumah tangga
yang sukses, meskipun istri lebih pandai dari suaminya, dan tetap ia
menghormati kepemimpinan suaminya. Ini bukan soal tinggi atau rendah
martabat sebagai manusia, tetapi adalah soal tanggung jawab dan pembagian
tugas.=20

Masalah kesetaraan gender memang saat ini begitu menggejala dan
menjadi proyek yang banyak menyediakan dana. Beberapa waktu lalu, Tim
Pengarusutamaan Gender Departemen Agama telah memproduksi legal draft
Kompilasi Hukum Islam yang sangat kontroversial dan 'ajaib', yang tidak
berpijak pada metodologi Islam, tetapi pada prinsip-prinsip kesetaraan
gender, pluralisme, nasionalisme, dan sebagainya. Tanggal 25 Oktober 2004
lalu, Harian Kompas menurunkan tulisan seorang wanita aktivis Jaringan
Intelektual Muda Muhammadiyah, berjudul "Khatib Perempuan". Tulisan itu
menggugat, mengapa tidak ada khatib jumat atau salat tarawih yang
perempuan. "Tak adakah kesempatan bagi dai perempuan untuk berkhotbah?"
Dari sekian ribu masjid di Tanah Air, tulisnya, tak satu pun perempuan
menjadi khatib. Satu-satunya perempuan yang ia dengar berani berkhotbah
Jumat di hadapan pria adalah Prof Amina Wadud, sarjana Muslim terkemuka.
Ia naik mimbar Masjid Claremont Main Road di Cape Town di Afrika Selatan.=20

Menurut dia, secara umum, khatib adalah orang yang menyampaikan
ajaran agama atau khotbah sebelum shalat Jumat atau kegiatan keagamaan
lain. Untuk itu, seorang khatib harus memiliki kecakapan dan pengetahuan
agama yang baik. Dan kini yang memiliki kecakapan dan pengetahuan agama
yang cukup tak hanya laki-laki. Terbukti, kini mubalig perempuan telah
bermunculan. Sayangnya, mereka tetap tidak bisa menjadi khatib maupun iman
shalat di masjid. Mereka hanya bisa menjadi khatib atau imam di rumah atau
pelbagai majelis taklim di kalangan perempuan sendiri.=20

Jelaslah, kata wanita ini, perempuan tidak boleh berkhotbah di
masjid bukanlah karena ketidakmampuan mereka. Dalil-dalil yang menolak
perempuan untuk berkhotbah "harus dipahami secara kontekstual, sesuai
dengan situasi dan kondisi budaya saat dalil itu dikemukakan, sebab
prinsip utama dalam Islam adalah musawah, hak yang sama antara laki-laki
dan perempuan, tidak mengenal pembatasan dan diskriminasi dalam
pelaksanaan ibadah."=20

Kata dia: "Kala situasi sekarang berbeda dengan dulu, keamanan telah
sepenuhnya dijamin, dai-dai perempuan pun bermunculan, masihkah kita tidak
mau memberi kesempatan bagi perempuan untuk berkhotbah atau memimpin
shalat di masjid? Barangkali di antara kita belum ada yang berani tampil
seperti Prof Amina Wadud. Namun, setidaknya kita berani bertanya dalam
diri kita: apa yang sebenarnya kita takutkan dan apa yang kita
pertahanankan jika perempuan bicara di masjid? Apakah ada yang akan merasa
bakal kehilangan otoritasnya sebagai pemimpin agama dalam masyarakat?
Ataukah rasa maskulinitas kita sedang terancam?"=20

Wanita ini sedang menampilkan dirinya sebagai 'mujtahid' yang merasa
lebih hebat dari ribuan ulama, termasuk ulama-ulama wanita, seperti
Sayyidah Aisyah r.a. Sepanjang 1500 tahun, dan di belahan dunia mana pun,
ulama Islam tidak pernah berpikir semacam ini. Jika fiqih dipengaruhi oleh
waktu dan tempat atau budaya, di mana-mana kaum Muslim selama ribuan tahun
punya pendapat yang sama tentang banyak masalah fiqih. Tentu ada
perbedaan, tetapi bukan karena perbedaan budaya. Lalu, apakah yang
dimaksud dengan musawat? Apakah itu berarti persamaan dalam segala hal
antara laki-laki dan wanita? Jika si wanita ini merasa mampu dan berhak
menjadi khatib Jumat, apakah dia mau hukum salat Jumat juga wajib baginya?
Apakah si wanita ini lalu merasa menjadi terhormat jika dapat berkhotbah
Jumat?=20

Tanpa dia sadari, atau mungkin dia sadari, si wanita yang mengaku
dari aktivis organisasi intelektual Islam ini, sebenarnya sedang
membongkar agamanya sendiri. Dengan dalil "musawat" dia bisa membongkar
apa aja yang dikehendaki, yang penting sama dengan laki-laki. Dia bisa
menuntut hak talak, karena perempuan juga bisa mentalak suaminya. Wanita
juga bisa menuntut untuk masuk masjid, meskipu sedang haid, karena
sekarang sudah ada pembalut wanita yang mampu menahan ceceran darah. Di
masa turunnya ayat, pembalut wanita belum ada. Wanita juga bisa mencari
nafkah dan menjadi kepala keluarga. Wanita juga tidak harus melahirkan dan
menyusui anaknya, karena dia bisa menyewa orang lain untuk melahirkan dan
menyusui anaknya. Kelebihan seperti dalam surat an-Nisa ayat 34, menurut
mereka, bukan kelebihan berdasarkan jenis kelamin.=20

Inilah pemahaman yang keliru. Secara umum, hingga kini, dalam soal
fisik saja, laki-laki memang lebih unggul dari perempuan. Meskipun secara
perseorangan, banyak wanita lebih unggul dan lebih kuat secara fisik. Bisa
dipastikan, juara tinju dunia kelas berat wanita, Lamya Ali, misalnya,
lebih kuat pukulannya dan akan menang bertinju melawan Komar, pelawak yang
kini menjadi anggota DPR. Banyak wanita jago angkat besi atau bela diri
yang mungkin saja lebih kuat fisiknya ketimbang suaminya. Tetapi, secara
umum, tetap saja laki-laki lebih kuat. Para aktivis kesetaraan gender
sebenarnya mengakui hal ini. Maka mereka tidak memprotes, bahwa dalam
bidang olah raga, kaum wanita sebenarnya telah didiskriminasi dan
diperhinakan dengan sadis, dengan dibeda-bedakan kelompok pertandingannya
dengan laki-laki. Jika para aktivis kesetaraan gender ini konsisten, maka
mereka harusnya memprotes hal itu, dan menuntut, agar tidak ada lagi
pembedaan pertandingan tinju laki-laki dan tinju wanita, angkat besi
laki-laki dan angkat besi wanita, sepakbola laki-laki dan perempuan, gulat
laki-laki dan gulat wanita, bulu tangkis laki-laki dan wanita, dan
sebagainya.=20

Para aktivis kesetaraan gender ini tidak menuding, bahwa olimpiade,
Sea-games, dan sebagianya, adalah rekayasa kaum laki-laki, yang
mendiskriminasi wanita, karena memperlakukan wanita sebagai makhluk lemah.
Nyatanya, aktivis kesetaraan gender hanya berani menuduh-nuduh para ulama,
para fuqaha, bahwa mereka merakayasa hukum agama untuk kepentingan
laki-laki. Tuduhan yang sebenarnya sangat jahat, karena dilakukan
serampangan. Pada 21 November 2004, seorang yang mengaku aktivis liberal,
menulis di Harian Jawa Pos, bahwa ada seorang wanita, bernama Maryam
Mirza, yang melakukan khotbah shalat Id, di Amerika Serikat. Penulis ini
sangat bangga bahwa ada wanita bisa khotbah Id, sehingga ia puji
habis-habisan, dengan kata-katanya berikut:=20

"Penampilan Maryam Mirza memang bahkan bisa dikatakan "revolusioner"
- bukan hanya buat Muslim Amerika, tapi untuk seluruh dunia Islam.
Kesetaraan gender dalam Islam memang terlalu banyak dikatakan dan terlalu
sedikit dilaksanakan... Mudah-mudahan pada Idul Fitri tahun depan, kita di
Indonesia - kalaupun mustahil diharap di Arab Saudi -- pun bisa menikmati
tampilnya khatib perempuan dalam salat Id. Jika Maryam Mirza bisa, seperti
kata jamaah salat Id di Washington itu, tentu para perempuan Muslim lain
di mana pun bisa."=20

Memang, banyak wanita yang mampu menjadi khatib. Tetapi, ironis
sekali cara berpikir seperti ini, bahwa wanita menjadi khatib Id
dibanggakan, hanya karena "WTS" (Waton Suloyo/asal beda dengan yang lain).
Jangankan menjadi khatib, sekarang pun banyak wanita Muslimah yang bisa
membuat pesawat terbang dan menjadi cendekiawan-cendekiawan unggul, tanpa
perlu menjadi khatib Id. Apa yang perlu dibanggakan dengan hal semacam
ini? Sepanjang sejarah Islam, banyak wanita menjadi pejuang unggul, tanpa
perlu menuntut menjadi khatib. Cut Nya' Din, tetap dihormati dan dipuji
sebagai pahlawan. Cut Mutiah, namanya tetap harum. Mereka tidak berbuat
hal yang aneh-aneh untuk menjadi terkenal. Kalau si penulis artikel itu
ingin ada wanita jadi khatib shalat Id di Indonesia, biarlah istrinya
sendiri, yang jadi imam salat baginya, dan jadi khatib untuk keluarganya
sendiri. Biarlah dia memberi contoh, untuk dirinya sendiri, dan
mempertanggung jawabkannya kepada Allah SWT di Hari Akhirat nanti. Ibnu
al-Mundzir, dalam Kitab al-Ijma', (hal. 44) menjelaskan, bahwa soal imam
dan khatib ini sudah merupakan ijma' di kalangan sahabat. Para Ulama Islam
pun tidak pernah berbeda dalam soal ini. Wallahu a'lam.